Semasa kecil
dulu, aku selalu diajari bahwa manusia adalah makhluk hidup istimewah, dibekali
akal, juga hati. Saat itu saya hanya berkata iya, tanpa mengerti artinya.
Beberapa hari
lalu, aku berada di dalam kereta, cukup ramai. Aku berdiri, menyaksikan
sekitar. Di gerbong yang sama, dekat pintu keluar, seorang anak menarik
perhatianku. Usianya sepertinya 4 tahun. Rambutnya ikal, wajahnya bersinar, ia
menggandeng ibunya.
Seorang
penumpang lain mengajaknya bicara. Sang ibu berceloteh riang, menceritakan
perkembangan putranya. Tak lama ada penumpang lain yang menyelipkan selembar
uang ke dalam genggaman tangan sang anak, kemudian dengan cepat sang anak
memasukkannya ke dalam tas selempang yang berada di depan perut sang ibunda,
sembari berkata, “bu, ini ada uang untuk ibu”, seolah terbiasa melakukannya.
Di tas
selempangnya tersembul sebuah benda yang menarik perhatian, tongkat yang sangat
familiar bentuknya. Tongkat dari sebatang besi tipis yang bisa dipanjangkan.
Ya, tongkat bagi mereka para tuna netra, termasuk sang ibu.
Beberapa
stasiun setelahnya, sang ibu bertanya apakah ia sudah sampai di tujuannya. Ia
meminta sang anak melepaskan pegangannya, lalu ia berjongkok, dan melompat
turun, semua dilakukannya tepat, sesuai intuisi.
Lalu ia
berbalik, mengangkat tangannya, siap menggendong sang anak turun. Tangannya
menggapai-gapai di udara, sang anak tidak ada, lalu tak lama sang anak
menggapai tangannya dari bawah. Penumpang lain telah membantunya turun, tanpa
sang ibu tahu. Keduanya bergandengan, tersenyum, lalu pergi. Mereka pergi
dengan membawa serta doa dan harapanku.
Semoga,
walaupun apa yang kumintakan cukup mustahil, agar beliau mampu melihat seluruh
warna di dunia dengan utuh. Apabila tidak, pintaku, agar sang anak dapat
menjadi warna tersendiri bagi sang ibu yang hanya mengetahui satu warna dalam
hidupnya.
Sungguh tak
terbayangkan keinginan sang ibu untuk melihat rupa sang anak, melihat gambar
pertamanya, tulisan tangannya, angka di rapornya, warna kesukaannya, semua.
Tuhan, terima
kasih telah mengingatkanku dengan berbagai cara. Setelah besar, aku baru
mengerti bahwa melihat bukan berarti peduli. Bahwa mendengar tak sekedar
mengetahu. Bahwa berbicara tak sepatutnya saling menyakiti. Bahwa pergerakan
tak boleh saling melukai. Setelah besar, aku baru tahu fungsi hati sebagai
pembeda manusia dengan makhluk yang lain. Setelah besar, aku baru benar-benar
paham bahwa hati itu ada, dan seharusnya digunakan, karena segala yang
dilakukan panca indera tanpa hati akan kehilangan makna.
Setelah besar,
ya, setelah besar …
Penulis : Andara sabil
Note : seseorang tidak akan pernah dapat meraih sebuah batu yang telah di lemparnya ke lautan. "misbahul muhamad ja"
0 Response to "SETELAH BESAR"
Posting Komentar